Interdisciplinary Colloquium: Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer
Pascasarjana UIN Salatiga melaksanakan Interdisciplinary Colloquium pada hari Kamis, 8 Desember 2022. Bertempat di ruang rapat utama Pascasarjana, colloquium kali ini mengusung tema; “Al-Qur’an dan Isu-Isu Kontemporer”. Colloquium dihadiri sekitar 100-an mahasiswa dan tamu undangan. Beberapa di antaranya dari Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Muntaha, Ponpes Mahirul Hikam As-Salafi, para guru madrasah serta para mahasiswa Pascasarjana UIN Salatiga.
Hadir pula dalam kegiatan ini, Dr. Tri Wahyu Hidayati, M.Ag selaku Ketua Program Studi Magister Hukum Keluarga Islam (S2 HKI), Dr. Muhammad Chairul Huda, M.H., Dr. Oktio Frenki Biantoro, M.Pd.I, dan Dr. KH. Aji Nugoroho, Lc., M.Pd yang bertugas sebagai moderator. Dr. Tri Wahyu Hidayati menjelaskan bahwa interdisciplinary colloquium kali ini sangat special karena menghadirkan ilmuan sekaligus ulama Nusantara yang langka.
“Beliau merupakan tokoh penghafal (tahfidz) al-Qur’an, menguasai ilmu qiro’ah sab’ah, memiliki karya-karya monumental, pentahsis al-Qur’an di Kementerian Agama Republik Indonesia, dan juga mantan rektor Institut Ilmu Qur’an (IIQ Jakarta). Beliau adalah Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, M.A. Kami juga berharap berkah dan doa dari Beliau untuk para mahasiswa. Semoga para mahasiswa dapat lulus tepat waktu dan mendapatkan ilmu yang berkah di fi diini wa dunia wa alkhiroh.” Jelas Tri Wahyu dalam sambutannya.
Dalam paparan materinya, Dr. KH. Ahsin Sakho menjelaskan, “Al-Qur’an meskipun berbahasa arab, tetapi untuk seluruh umat manusia. Al Qur’an itu sendiri li kulli zaman wa al makan. Namun demikian, untuk memahami al-Qur’an maka kita butuh memahami ilmu-ilmu alat untuk mempelajarinya. Kita harus memahami Al-Qur’an, Sunnah, asbabun nuzul, asbabul wurud, ulumul qur’an, ulumul hadis dan tafsiran dari para ulama. Jangan hanya melihat dari aspek terkstualnya saja. Jangan semabarangan belajar dari terjemahan, karena maknanya bisa berbeda.”
Lebih lanjut, dosen UIN Jakarta ini menjelaskan, “Islam masuk di Indonesia secara damai, berbeda dengan di tempat-tempat lain yang penuh peperangan, meskipun perang itu juga tidak diinginkan dalam Quran. Jika melihat ayat-ayat perang, kita juga harus melihat teks, konteks dan asbabun nuzulnya juga. Allah tidak menginginkan pada suatu keadaan yang menyusahkan. Berbagai peperangan bukan dari pihak orang islam yang memulai, tetapi jika sudah pada situasi perang, maka tidak ada pilihan lain. Yang paling penting, Islam itu dien al insaniah, agama kemanusiaan. Ketika bermualamah misal membantu orang lain, maka tidak perlu melihat suku, agama, ras. Selama dia adalah insan maka dia adalah makhluk Allah SWT.”
Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Qur’an Cirebon ini juga memberikan amanat kepada para peserta colloquium agar tidak mudah membid’ahkan,mengkafirkan ataupun memusyrikkan orang lain. Otoritas penghakiman hanya milik Allah SWT. “Kita melihat manusia lain sebagai sesama makhluk Allah SWT. Kekafiran itu bukan musuh, yang menjadi musuh adalah kedzaliman dan ketidakadilan. Tugas kita hanya memberikan pencerahan, soal hidayah itu otoritas Allah SWT. Janganlah kekerasan dihadapi dengan kekerasan. Mahasiswa harus diskusi secara akademis. Semakin banyak ilmu seseoarang, maka dia akan semakin toleran. Intinya pada kerelaan untuk saling meghargai pendapat dan pemahaman orang lain,” tutup doktor lulusan Universitas Madinah ini.