Menu Close

Category: Dosen

BIARKAN WAKTU BERGANTI

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَتٰۤى اَمْرُ اللّٰهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْهُ  ۗ سُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Artinya: Ketetapan Allah SWT pasti datang, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya ), Maha suci Allah Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. QS. An Nahl : (16) 1.

Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum terjadi! Apakah anda mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya dilahirkan?, memetik buah buah-buahan sebelum masak? mendapatkan nilai bagus sebelum belajar dengan giat? Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata dan tidak dapat diraba, belum terwujud, dan tidak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita harus menyibukkan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan-kesialan yang mungkin akan terjadi padanya, memikirkan kejadian kejadian yang akan menimpanya, dan meramalkan bencana-bencana yang bakal ada didalamnya? Bukankah kita juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, dan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan?.

Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam gaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyeberangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi kita akan terhenti jalan kita sebelum sampai ke jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai di atasnya. Dan bisa jadi pula, kita akan sampai pada jembatan itu dan kemudian menyeberanginya.

Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka buka alam gaib, dan akan tetapi janganlah kemudian terhanyut dalam kecemasan-kecemasan yang baru di duga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. pasalnya hal itu termasuk thuulul amal (angan angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itu pun tidak masuk akal, karena sama halnya dengan berusaha perang melawan bayang-bayang. Namun ironis, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak termakan oleh ramalan- ramalan tentang bencana, kesengsaraan, kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal, semua itu hanyalah bagian dari kurikulum yang diajarkan di “sekolah sekolah syetan “.

 

Sebagaimanmana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya;

(Setan menjanjikan (menakut nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui) QS. Al Baqarah:(2) 268.

Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita sakit selama setahun, dan memperkirakan umur didunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia hidupnya berada di ”genggaman yang Maha Hidup” tentu tidak akan menggadaikan untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila kita menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak terwujud.

Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Sebab, hari ini anda sudah sangat sibuk.

Jika anda heran, maka lebih mengherankan lagi bila orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindarilah angan- angan yang berlebihan. Bila kondisi hari ini masih seperti kemarin di mana harapan belum menjelma menjadi nyata. biarlah waktu berganti tetaplah tersenyum.

Man jadda wa jadda

Bermusahabah diri dengan mensyukuri nikmat Allah SWT

Bermusahabah diri dengan mensyukuri nikmat Allah SWT

Berapa banyak nikmat Allah yang kita peroleh setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya? Tidak akan pernah mampu kita menghitungnya. Justru sebaliknya, setiap saat kita terlalu sering mengeluh dan merasa apa yang kita inginkan belum dipenuhi oleh Allah dan merasa Allah tidak adil pada kita. Astaghfirullah.

Udara yang setiap saat masih dapat kita hidup dengan leluasanya, adalah nikmat yang tiada tara yang seringkali tidak kita sadari. Apa yang kita rasakan saat seperti sekarang, kita diwajibkan untuk menggunakan masker saat keluar rumah atau saat kita dalam kerumunan orang banyak karena bumi kita sedang disapa oleh virus Corona 19? Sesaknya dada kita, ketidaknyamanan saat harus bernafas, tidak bebasnya kita menghirup udara yang ada di sekitar kita, itulah yang kita rasakan. Barulah kita merasa, ya Allah, sampai kapan kami harus hidup dalam kungkungan masker ini? Ijinkan kami menghirup udaraMU ya Allah…

Baru satu hal yang sangat sederhana, sebagai bentuk nikmat Allah yang biasanya kita abaikan. Padahal, terlalu banyak nikmat-nikmat Allah yang lain yang sebenarnya kita peroleh, tapi tidak kita sadari dan lupa kita syukuri, yang telah disediakan Allah di sekeliling kita untuk kita manfaatkan sebaik-baiknya. Maka Allah telah berfirman dalam Surat Ar Rahman (QS. 55: 13) yang berulang hingga 31x

فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

‘Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan’

Kita telah diingatkan bahwa nikmat Allah itu sangat luas. Namun, betapa manusia terlalu banyak mengeluh dan lupa bersyukur dengan berterima kasih kepada Allah yang maha memiliki segalanya, yang maha pemberi, pengasih dan penyayang. Betapa kita terlalu sombong untuk menundukkan hati dan menyadari bahwa semua yang kita miliki adalah kuasa Allah SWT.

Maka, tepat di 1 Muharram kali ini, hendaknya kita sambut tahun baru dengan bermuhasabah diri. Dengan merenungkan atas segala yang telah kita miliki hingga saat ini tidak lain adalah campur tangan Allah. Dan bahwa pandemi yang sedang terjadi adalah cara Allah mengingatkan kita untuk bersyukur. Bermuhasabah dengan menyadari  kesalahan dan dosa yang kita lalukan dan membangun niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

~Noor Malihah~

Berfikir Positif Itu Menyehatkan

BERPIKIR POSITIF ITU MENYEHATKAN

Oleh: Asfa Widiyanto

prof

Salah satu pelajaran yang penulis terima, dan penulis merasa berat mempraktekkannya adalah tentang kesiapan jiwa. Tingkat kesiapan dan kematangan jiwa kita, antara lain, tercermin ketika melihat dan berpapasan dengan makhluk yang kebetulan kurang berkenan di hati kita, misalnya ada orang yang menurut penglihatan kita berperangai kurang baik, ada orang tertimpa sesuatu yang yang menurut penglihatan kita kurang berkenan atau ada orang yang mengambil keputusan yang berpotensi mengundang cibiran khalayak ramai.

Pada level pertama, ketika kita melihat sesuatu yang kurang berkenan tadi, kita dianjurkan untuk membaca “nau´dhu billah min dhalik” (kita berlindung pada Allah dari kondisi seperti itu). Pada level kedua kita dianjurkan untuk membaca “baraka Allah fih in kana fih khayr” (semoga Allah memberkatinya jika memang ada kebaikan padanya). Pada level ketiga, kita dianjurkan mengucapkan “baraka Allah fih” (semoga Allah memberkatinya). Ungkapan terakhir ini, terkandung implikasi harapan yang tulus bahwa makhluk yang tadi dilihat itu diberkati Allah. Kalaupun ada yang kurang baik pada makhluk itu, dia mendoakan agar makhluk tersebut diberkahi Allah sehingga tertuntun ke arah kebaikan. Dalam tataran ideal, orang yang mengucapkan frase terakhir ini berusaha untuk selalu berpikir positif pada makhluk lain, dan tidak menilai makhluk lain semata dari penampilan lahiriyahnya.

Ini mengingatkan penulis pada cerita yang kadang dikutip para ´ulama´ tentang seseorang yang ditakdirkan menjadi wali sejak di buaian ibunya. Dikisahkan, suatu hari, wali tersebut diteteki ibunya. Tiba-tiba lewat di depan rumah, seorang lelaki berkuda, yang gagah berani, dan berpakaian mempesona. Ibu tersebut terkesan dengan orang yang baru saja lewat, seraya berujar, “Ya Allah jadikanlah anakku seperti orang itu”. Tapi anak itu bereaksi negatif, dengan sedikit menggigit puting ibunya sehingga sang ibu terperanjat. Selang beberapa saat, ada seorang wanita yang diseret-seret beberapa orang, yang meneriakkan yel-yel (layaknya cheer leaders), “kamu pezina, kamu pezina!”. Melihat kejadian itu sang ibu berujar, “Na´udhu billah, semoga anakku nanti tidak jadi seperti dia”. Tapi anak itu bereaksi negatif, dengan sekali lagi sedikit menggigit puting ibunya. Sang ibu itu pun heran. Sang anak kemudian diberi anugerah Allah untuk menjelaskan kepada ibunya. Si anak pun lantas berujar, “Wahai Ibu, orang laki-laki yang ibu lihat tadi, adalah orang yang sangat ingkar pada Allah. Sedangkan perempuan yang dituduh berzina itu adalah orang yang bersih hatinya dan pasrah secara total pada Allah. Dia tidak mengharapkan bantuan selain Allah ketika disiksa makhluk seraya berucap, “hasbiya Allah” (cukuplah Allah (saja yang menolongku)).

Ini juga mengingatkan penulis pada kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidr as, yang diangkat Al-Qur´an. Kisah ini antara lain memberikan pesan pada umat manusia untuk tidak terburu-buru untuk menghakimi sesuatu berdasarkan penampakan lahiriyahnya semata. Para ´ulama sering mengingatkan kita untuk tidak tergesa-gesa menghukumi seseorang sebagai kafir, karena kalau ternyata si tertuduh tadi tidak seperti yang dituduhkan, maka tuduhan itu berpotensi untuk kembali pada kita sendiri.

Sementara ´ulama´ menggarisbawahi pentingnya seorang anak manusia untuk memiliki seorang guru, apa pun namanya (ustadh, kyai, sheikh, murabbi atau yang sebangsanya), yang bisa mengajarkan manusia tersebut untuk senantiasa bersikap rendah hati pada kebenaran, tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan pada hal-hal yang belum semestinya disimpulkan (dalam hal ini, sebagai intermezzo, makhluk tersebut bisa menarik-narik kolor dulu, misalnya, daripada bete), menjaga hatinya dari apriopri dan berprasangka buruk pada makhluk lain (apa lagi kalau sampai melakukan pembunuhan karakter)) serta menjaga hatinya dari rasa bangga yang terlalu berlebihan.

Di penghujung tulisan ini, penulis mengajak pembaca dan terutama penulis sendiri untuk merenungi salah satu hadith. Hadith tersebut adalah, “Ada tiga hal yang bisa membawa seseorang pada keselamatan, dan ada tiga hal pula yang bisa menjerumuskan seseorang pada kebinasaan. Adapun tiga hal yang menyelamatkan itu adalah takwa pada Allah baik dalam keadaan sepi maupun ramai, konsisten mengatakan kebenaran ketika dalam kondisi benci dan ridha, senantiasa sederhana dalam kondisi kaya maupun papa. Adapun tiga hal yang membinasakan itu adalah hawa nafsu yang diperturutkan, kikir yang diperturutkan, dan rasa bangga yang berlebihan pada dirinya”.

~Asfa Widiyanto~

Dinamisasi Jilbab di Indonesia

Fenomena jilbab mengundang perhatian Mr. Hyung-Jun Kim, seorang Professor Antropologi Budaya, Kwangwon National University, Korea Selatan. Minat meneliti jilbab berawal dari permintaan rekannya yang mempunyai perusahaan kosmetik di Korea agar meneliti Konsep Kecantikan Dalam Tradisi Jawa. Namun begitu tiba di Indonesia, dia melihat banyak wanita Indonesia terutama Muslimah yang menutupi rambut mereka. Pada mulanya Prof Kim beranggapan bahwa seorang Muslimah yang menutupi rambutnya akan kehilangan pesona kecantikannya. Lama kelamaan anggapan tersebut pudar setelah terkonfirmasi dengan salah satu responden penelitiannya yang merasa lebih cantik ketika mengenakan jilbab. Bahkan respondennya mendemonstrasikan berabagai model cara mengenakan jilbab. Berangkat dari pengalaman tersebut, mulailah dia tertarik mengadakan penelitian tentang Jilbab.

Sekelumit kisah tersebut disampaikan oleh Prof. Kim dalam kegiatan Interdisciplinary Colloquium minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2017, di Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.  Kegiatan ini bertemakan Hijaber vs Jilboob: Diversification of Hijab and Reaction of Indonesian Conservative Muslims. Sekitar tujuh puluhan dosen IAIN Salatiga bergabung dan terlibat secara aktif dalam diskusi tersebut. Mereka antusias mengikuti paparan Prof. Kim di ruang rapat utama Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, gedung K.H. Ahmad Dahlan Kampus tiga yang berlokasi di Jalan Lingkar Selatan kota Salatiga.

Lebih jauh Prof Kim menuturkan bahwa mulanya pakaian wanita secara umum merupakan urusan personal dan internal kaum perempuan. Orang lain terutama kaum lelaki tidak pernah mempersoalkan pakian wanita termasuk ketika sebagian Muslimah mengenakan kerudung dan jilbab. Sampai pada tahun 1980, Muslimah Indonesia masih akrab dengan istilah kerudung dan memasuki tahun 1990-an istilah jilbab mulai dikenal publik. Wacana publik tentang hijab mulai populer sekitar tahun 2000an termasuk jilbab gaul, menutup aurat tetapi dengan model yang indah dan menawan. Tepatnya tahun 2010 muncul Hijabers Community Jakarta, suatu komunitas yang terdiri para desainer, orang kaya dan pebisnis. Kelompok ini membuat kriteria bagaimana Muslimah idealnya mengenakan jilbab, (1) Mengenakan jilbab yang indah merupakan ibadah menutup aurat sesuai dengan Hadits yang menyebutkan bahwa Allah Swt mencintai keindahan. Ajaran yang mereka pahami bahwa Allah Swt memperbolehkan hijab untuk mencari keindahan. Hijaber ini tidak mau mencari argumentasi itu saja tetapi yang paling pokok, (2) syarat fiqih tebal longgar dan tidak transparan. Para Hiijaber menafsirkan dengan logikanya bahwa ketika syarat itu dipenuhi, maka diperbolehkan. Selain itu dalam setiap kegiatan, mereka mengawali acaranya dengan kultum dan doa singkat untuk menggamalkan ajaran Islam yang sangat melindungi dan menyayangi orang lain.

Empat tahun kemudian, tahun 2014 tepatnya muncul istilah jilboob, jilbab gaul (ketat) yang menonjolkan atau memperlihatkan bagian tertentu anggota badan kaum perempuan. Menurut Prof Kim, istilah ini dimunculkan oleh kaum laki-laki yang sengaja ingin  mengkonsumsi tubuh wanita sebagai alat memuaskan nafsu birahinya. Hal ini berbeda dengan pengakuan para pelaku jilboob. Mereka menepis anggapan tersebut. Ada tiga motivasi mereka mengenakan jilbab ketat (jilboob); (1) menurut responden Muslimah terpelajar, mereka menyatakan bahwa berpakaian merupakan bagian dari hak asasi manusia. Setiap orang bebas memilih pakaian yang mereka sukai, (2) bagi responden tertentu, membeli pakian jilbab yang longgar dan gaul harganya mahal. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli hijab yang mahal tersebut dan (3) yang terakhir ada juga yang menyampaikan bahwa berpakaian itu ya suka-suka, mana yang mereka sukai ya itulah yang akan mereka kenakan. Bahkan berpakaian itu yang  terpenting adalah fleksibel, praktis dan  nyaman sesuai dengan aktifitas yang mereka jalani.

Setelah muncul jilboob, wacana publik merespon dengan cara yang berbeda-beda. Pertama, respon inklusif artinya komunitas hijaber menganggap bahwa Muslimah yang mengenakan jilboob disebabkan mereka sedang berproses belajar mengenakan jilbab atau menutup aurat. Hijaber melihatnya jilboob adalah hal netral atau positif bagi setiap Muslimah yang akan berusaha hijrah menutup aurat. Kedua, eksklusif maksudnya Muslimah yang memakai jilboob haram hukumnya. Hal ini sesuai fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terutama fatwa tentang pronografi dan porno aksi. Berdasarkan fatwa tersebut, kemudian komunitas hijaber merubah responnya yang semula inklusif menjadi eksklusif. Komunitas hijaber menyatakan bahwa jilboob (jilbab ketat) dikategorikan busana Muslimah yang kurang islami dan mereka melakukan kampanye untuk mengenakan jilbab gaul yang longgar (syar’i). Sejak itulah jilbab tidak lagi menjadi urusan kaum perempuan saja dan pribadi sifatnya tetapi berubah menjadi urusan laki-laki dan menjadi bagian wacana publik. Selain itu, para Muslimah mulai memiliki kontrol diri (self-censorship) bagaimana seharusnya mereka mengenakan jilbab di depan publik. M/H